Jika diingat kembali, kondisi yang menginspirasiku menulis topik tentang Mengapa Kita Bosan? di postingan sebelumnya adalah rasa bosan yang kualami. Dikarenakan bosan tidaklah mengenakkan, aku-pun mencari tahu sebab - sebab mengapa seseorang bisa bosan dan memutuskan untuk mengabadikannya dalam bentuk tulisan yang kedepannya akan terbagi menjadi tiga bagian.
Selamat datang di bagian kedua, gaes! Akan aku awali bagian kedua ini dengan sepotong kisah Siska (bukan nama sebenarnya). Bukanlah orang penting, dia hanyalah satu dari banyak orang yang hobinya bekerja keras dan punya sejuta rencana dalam hidupnya. Begini kisahnya.
***
Alkisah hiduplah seorang karyawati yang semenjak masa kuliahnya ia senang mencari 'sambilan'. Seringkali sambilan-nya itu menuntutnya berkejar - kejaran dengan waktu. Misalnya saja sambilannya yang satu ini, haruslah ia selesaikan per tanggal 13 September 2020 yang notabene sudah ia kerjakan sejak dua bulan lalu. Kini waktu tersisa dua minggu lagi. Bagai lomba lari marathon, 13 September 2020 bak pita garis finish yang semakin pita itu terlihat jelas maka akan membuatnya semakin bersemangat mendorong kencang badan mungilnya walau napas tersengal -sengal.
Apa tidak lelah? tentu saja lelah. Hampir setiap hari dalam dua minggu itu ia gunakan untuk mengejar target. Sepulang kerja sampai pukul 00.00 WIB bahkan kadang sampai 01.00 WIB. Begitupun akhir pekan, tak luput ia manfaatkan dengan baik. Rupanya ia sedang terbakar api cemas karna sepertinya ia tidak siap menghadapi garis finnish di penghujung dua minggu terakhir. Tak peduli dengan rasa bosannya membaca banyak referensi bahasa yang 'not human friendly' itu a.k.a bahasa ilmiah, ia tetap berlari atau setidaknya berjalan pelan sambil mengatur napas. Ia paham betul bahwa ia akan lebih menyesal jikalau hasil kerjaannya kali ini tidak berbuah manis.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Di hari itu sekaligus ia dengar kabar menggembirakan atas hasil banting tulang dan pikirannya itu. Sadar bahwa belum saatnya berpuas diri, ia cukupkan dengan rasa bersyukur dan ingin menghadiahi dirinya dengan seminggu hari tenang dalam hidupnya. Ia ingin balas dendam kepada pikiran yang sumpek dan badan yang pegal - pegal dua minggu yang lalu. Lagian ia belum punya tujuan juga, belum jelas sambilan apa yang selanjutnya akan ia kerjakan. Gambaran besar-nya sih sudah ada, tapi ia ingin bersantai sejenak. Ada drakor berjudul: It's Okay to Not Be Okay yang belum selesai ia tonton sedari awal bulan September ini. Mau kemana lagi kalau bukan santai dirumah aja? Makhluk kasat mata bernama Covid-19 masih belum terkendali. Tak seperti dulu, pusat hiburan ramai dibuka tanpa celah.
Lama - lama ia bosan juga. Saat itu masih hari ketiga, 16 episode drakor itu sudah habis dilahapnya. Sebenarnya dikepalanya sudah terpikir sejumlah rencana 'sambilan' masa depan, tapi ia tak mengubris. Raganya masih enggan melonggarkan waktu untuk benar - benar merenunginya. Ia akan merenung setelah ia selesaikan keinginannya dan mendapatkan motivasi untuk kembali. Begitu janjinya pada diri sendiri. Jadi ia hanya perlu menghindari bosan (yang pada saat itu ia anggap mengatasi bosan) setiap kali pikiran sumpek-nya datang entah itu karna kerjaan kantor atau terpikir 'rencana kedepannya' itu lagi. Ia memilih Youtube-an untuk menggantikan 16 episode drakor yang habis ditonton olehnya. Bahkan saat ia tidak tahu harus melakukan apa, kini Youtube adalah jalan ninjanya.
Benar saja, makin ia berselancar, pikirannya yang sumpek pelan - pelan longgar. Entah berapa jumlah klik video yang ia buat dalam sehari. Mungkin ia terlalu senang dengan sensasi longgar di kepalanya. Tapi tidak sedikit ia merasa bersalah karna terlalu lama.
"Ah sudah 4 jam aku begini. Besok tidak akan lagi!"
Bukannya berhenti, keesokan harinya ia membuka Youtube lagi dan membunuh waktu lagi. Ia pun berdalih.
"Aku kan nggak cuman nonton yang seneng - seneng aja, aku juga nonton konten edukatif kok. Belajar investasi saham misalnya."
Yang sebenarnya terjadi adalah kegiatannya di youtube lebih banyak untuk porsi nonton hiburan seperti reality show, stand-up comedy, vlog, video reaction dan music/dance cover dan sebagainya, tentu saja karna jenis konten itu lebih ringan di proses otak. Ia ketagihan.
Tepat dua minggu sejak 'hari libur-nya' dimulai, salah seorang sobat SMP-nya mengirim WhatsApp.
"Siskaaa, lagi sibuk apa? Mau datang ke resepsinya Karno nggak?"
Suara - suara dalam dirinya mulai bergaung mengajak kepala untuk berfikir.
"Sibuk? Aku memang terkesan seperti itu dimata kenalan - kenalan dekatku. Tapi sekarang, aku tidak sibuk sama sekali. Seperti ada yang salah dalam diriku. Kok aku seperti bukan aku biasanya ya."
Sambil membalas pesan Ratih, ia terus terpikir semakin dalam. Sebisanya ia mendiagnosa diri, mencari jawaban atas keadaannya.
"Sesuatu yang kuanggap mengatasi bosan selama ini ternyata malah membuatku malas dan lebih malas lagi. Bukannya motivasi yang muncul setelah aku mendapat kesenangan justru malas yang berkelanjutan. Ini bukan aku, setidaknya aku saat dua minggu yang lalu. Aku ketagihan membunuh waktu, bukannya menghidupinya!"
***
Kebosanan Siska diatas mungkin disebabkan oleh dua keadaan yaitu quantitative underload dan qualitative overload. Siska tidak lagi mengerjakan sambilan (quantitative underload) serta dia belum memutuskan tujuannya di masa mendatang yang pikirnya itu adalah hal yang rumit (qualitative overload). Situasi yang baginya tidak menyenangkan. Adakah yang satu 'jalan ninja' dengan Siska? Youtube-an. Kegiatan yang membuat Siska mendapat kesenangannya kembali dengan sekali klik hingga 'lupa' tujuan sesungguhnya.
GIF by giphy.com
Youtube tidak lagi terdengar asing bagi banyak orang, termasuk anak kecil yang belum sempat masuk bangku sekolah. Bisa jadi mereka terlebih dulu mengenal youtube dari pada buku dongeng, buku mewarnai, dan jenis buku anak - anak lainnya. Bisa saja terjadi. Itu saja baru youtube. Bagaimana dengan aplikasi lainnya dalam golongan game, social media misal. Rasanya mudah sekali mencari hiburan. Cukup nyalakan benda mati yang hidup karena baterai itu, apalagi ditambah koneksi internet. Beh, jalan - jalan ke Paris pun bisa tanpa keluar rumah.
Dopamine Hit, istilah ini kurang lebih meringkas segala kegiatan diatas yang secara terus menerus menstimulus produksi hormon dopamine di dalam otak kita sehingga membuat kita terus menerus merasa senang. Ya, hormon ini penyebabnya. Salah satu dari empat jenis hormon yang selalu dikaitkan dengan perasaan bahagia seseorang.
Dilansir dari WebMD, dopamin berfungsi untuk mengaktifkan kemampuan manusia dalam berpikir dan fokus. Dopamin juga membantu manusia menemukan hal-hal menarik dan kesenangan. Hormon ini juga berkontribusi dalam peningkatan suasana hati, motivasi, dan perhatian. (Tirto.id, Yonada Nancy - 12 Oktober 2019)
Siska merasakan sama senangnya baik saat dia mendapat kabar baik atas hasil lembur kerja sambilannya maupun saat dia nonton video stand-up comedy di youtube. Bedanya, modal kebahagiaannya yaitu beratnya lembur sampai pukul 01.00 WIB versus mudahnya scrolling-up and down then click! Lagi, bedanya adalah level kebahagiaannya. Coba jujur, kebahagiaan mana yang rasanya lebih bertahan lama jika dibandingkan antara kebahagiaan dari youtube-an dengan kabar baik berhasilnya proyek? Sejujurnya kebahagiaan dari youtube-an adalah kebahagiaan semu yang candu. Tidak ada pengaruhnya mau kita nonton youtube stand-up comedy atau tidak, hidup akan sama saja saat sebelum dan sesudah youtube-an. Mood-nya saja yang berubah. Sebaliknya, keberhasilan proyek mampu meningkatkan level keterampilan kita dan tentunya mengubah hidup kita ke arah yang lebih baik. Maka sebenarnya dalam kisah diatas, dengan youtube-an, Siska hanya menghindari bosan dibanding mengatasinya. Tidak memberinya petunjuk tujuan maupun rencana kerja sambilannya di masa mendatang. Masih dilema.
***
Memang benar bahwa bukan hanya dampak negatif yang dihasilkan. Hanya saja kita perlu sikap bijaksana dalam menggunakan teknologi semacam ini agar lebih banyak mengambil dampak positifnya. Sungguh, masing - masing dari kita ini berisiko kecanduan smartphone+internet yang membuang waktu hidup kita secara percuma. Bahkan keadaan yang sekarang, di masa pandemi begini, kita semakin didorong untuk melakukan segala hal dalam satu klik di smartphone kesayangan kita. Betapa berisikonya hal itu!
Kalau sedemikian berisiko-nya, sudah seharusnya kita mengontrol diri saat menghadapi kebosanan itu, bukan? Pilih jalan yang mengatasi rasa bosan walaupun panjang asalkan sampai tujuan. Bukannya jalan pintas yang menyesatkan pada tujuan yang semu. In my opinion, perilaku bijak mengatasi bosan adalah ketika perilaku kita mampu menghilangkan bosan dengan motivasi sebagai gantinya. Kalaupun kita kembali bosan, bosan itu adalah kebosanan jenis yang baru. Coba bertahan dulu saat bosan menghadang. Barangkali si bosan hanya mampir sebentar. Aku yakin, setiap jenis rasa yang manusia rasakan itu sifatnya dinamis dan cenderung bergerak menuju netral, termasuk si bosan. Hadapi saja dulu sampai si bosan berproses menuju netral.
Lalu apakah kita harus melepas segalanya yang menyenangkan di smartphone+internet? Tentu saja tidak. Aku berencana mengulasnya di postingan bagian tiga nih. Sampai jumpa disana ya!
